Saturday, November 14, 2009

I. LATAR BELAKANG
Istilah neoliberalisme adalah kisah salah kaprah. Dan mungkin salah kaprah itulah yang sedang mendera kita dalam perdebatan luas di hari-hari ini. Apa yang terjadi dalam perdebatan tentang neoliberalisme hari-hari ini untuk kesekian kali menunjukkan gejala ganjil berikut. Kehidupan publik kita rupanya ditandai secara mendalam oleh sikap anti-intelektual. Maka ketika meledak perdebatan tentang suatu ideologi, dan ideologi pada dirinya selalu membutuhkan pemahaman intelektual, tidak siaplah kita.
Seperti yang terjadi hari-hari ini, akibatnya tidak mudah pula melakukan penjernihan mengenai arti neoliberalisme. Sebab, cuaca perdebatan telah menjadi keruh dengan salah kaprah. Saya masih ingat, gejala itu pula yang melanda perdebatan tentang ideologi “akhir sejarah” di negeri ini di sekitar munculnya buku The End of History karya Francis Fukuyama (1992). Pemahaman intelektual memang tak mudah, dan beban menjernihkan dengan bahasa sederhana mudah terpelanting ke penyederhanaan perkara. Lalu, mesti mulai dari mana penjelasan tentang neoliberalisme?
Lalu, di mana tempat pemerintah dalam agenda neoliberal? Jawabannya dapat dibuat lugas. Tidak ada ideologi yang diterapkan secara murni, tidak juga neoliberalisme. Itulah mengapa ironinya agenda neoliberal justru lebih sering menuntut tangan besi pemerintah, misalnya dalam pemberangusan serikat-serikat buruh. Pinochet di Cile atau Thatcher di Inggris melakukannya dengan menghancurkan kekuatan serikat buruh. Pokok ini sangat penting bagi cuaca perdebatan hari-hari ini. Adanya peran pemerintah sama sekali bukan dengan sendirinya berarti paket kebijakan tidak berciri neoliberal. Sangat biasa paket
kebijakan melibatkan peran pemerintah yang besar, namun tetap saja berciri neoliberal.

II. PERMASALAHAN
Neoliberalisme tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.
Saat ini ramai diberitakan bahwa Capres “X” atau Cawapres “Y” adalah Neoliberalis atau Antek Asing sementara pihak yang tertuduh atau simpatisannya membelanya. Istilah “Neoliberalis” jadi populer sekarang.
Tapi masih banyak orang yang tidak tahu “Apa sih Neoliberalis itu?” Oleh karena itu saya akan mencoba menjelaskannya sesederhana mungkin sehingga orang awam bisa memahaminya.
Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis.
Di bawah adalah cuplikan berbagai artikel tentang Neoliberalisme dan pro-kontra apakah Boediono seorang Neoliberalis atau tidak. Terlepas dari simpang-siur opini dan berita, kita harus yakin bahwa Tuhan Maha Tahu dan kelak kita semua setelah mati akan menerima balasan tanpa ada teman/konco-konco yang bisa membela.
Semoga pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang peduli dan memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan kepentingan perusahaan-perusahaan/lembaga asing.

III. PEMBAHASAN
Neoliberalisme adalah paham ekonomi yang mengutamakan sistem Kapitalis Perdagangan Bebas, Ekspansi Pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN, Deregulasi/ penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS (Washington Consensus). Bertujuan untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan sekutunya/MNC.
Sesuai dengan namannya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.
Sistem ekonomi neoliberalisme menghilangkan peran negara sama sekali kecuali sebagai “regulator” atau pemberi “stimulus” (uang negara) untuk menolong perusahaan swasta yang bangkrut. Contohnya, pemerintah AS harus mengeluarkan “stimulus” sebesar US$ 800 milyar (Rp 9.600 trilyun) sementara Indonesia pada krisis moneter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 trilyun dan BLBI senilai Rp 600 trilyun, melebihi APBN saat itu. Sistem ini berlawanan 100% dengan Sistem Komunis dimana negara justru menguasai nyaris 100% usaha yang ada.
Di samping doktrin utama laissez faire dan pasar bebas (free market) yang sudah ada sejak Kapitalisme liberal Adam Smith, doktrin ekonomi neoliberal dikembangkan ke dalam kerangka liberalisme yang lebih sistematis. Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menjelaskan lima kerangka utama neoliberalisme.

1. Free Market
Dalam konsep free market swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang, jasa. Para pengusung free market senantiasa menyatakan: ”Pasar yang tidak diatur adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memberikan keuntungan bagi setiap orang.”

2. Pembatasan Anggaran Belanja Publik
Anggaran publik seperti kesehatan, pendidikan, pemenuhan air bersih, listrik, jalan umum, fasilitas umum, dan bantuan untuk orang miskin harus dikurangi dan dibatasi sehingga tidak membebani APBN. Pandangan ini sama saja dengan mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian dan pemenuhan kebutuhan publik. Namun di balik paham neoliberal ini, kalangan korporasi dan pemilik modal sangat mendukung subsidi dan pengurangan pajak yang menguntungkan bisnis mereka.

3. Deregulasi
Mengurangi atau bahkan menghapus peraturan-peraturan yang menghambat kepentingan bisnis korporasi dan pemilik modal.

4. Privatisasi
Menjual badan usaha, barang atau pelayan yang menjadi milik negara (BUMN) kepada investor, khususnya aset-aset dalam bentuk bank, industri-industri kunci, kereta api, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, dan air bersih. Alasan utama dilakukannya privatisasi untuk mengejar efisiensi. Namun pada faktanya privatisasi justru menciptakan konsentrasi kekayaan ke tangan segelintir orang-orang kaya sedangkan rakyat harus menanggung beban harga-harga public utilities yang mahal.

5. Menghilangkan Konsep Barang Publik
Pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari tangan negara menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, masyarakat harus menemukan sendiri solusi dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka akan barang-barang publik.
Menurut I. Wibowo, kelahiran neoliberalisme didorong oleh empat faktor utama, sebagai berikut:
1. Munculnya perusahaan multinasional (multinational corporations – MNC) sebagai kekuatan riil dengan nilai aset lebih besar dari pada kekayaan yang dimiliki oleh negara-negara kecil.
2. Munculnya organisasi (rezim internasional) yang berfungsi sebagai surveillance system (sistem pengawasan) dalam memastikan prinsip-prinsip ekonomi liberal berjalan atas seluruh negara di dunia.
3. Revolusi bidang teknologi komunikasi dan transportasi yang menjadi katalisator dan fasilitator terlaksananya pasar bebas dan perdagangan bebas secara cepat ke seluruh dunia.
4. Keinginan negara-negara kuat untuk mendominasi dan menciptakan hegemoni atas negara-negara yang lebih lemah.
Di tengah-tengahnya ada Ekonomi Kerakyatan seperti tercantum di UUD 45 pasal 33 yang menyatakan bahwa kebutuhan rakyat seperti sembako, energi, dan air harus dikuasai negara. Begitu pula kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Untuk itu dibuat berbagai BUMN seperti Pertamina, PAM, PLN, dan sebagainya sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan harga yang terjangkau.
Selain itu ada juga Sistem Ekonomi Islam yang hampir mirip dengan Ekonomi Rakyat di mana padang (tanah luas), api (energi), dan air adalah “milik bersama.” Nabi Muhammad juga memerintahkan sahabat untuk membeli sumur air milik Yahudi sehingga air yang sebelumnya jadi komoditas untuk mendapat keuntungan dibagikan gratis guna memenuhi kebutuhan rakyat.
Neoliberalisme disebut juga dengan Globalisasi (Globalization). Neoliberalis adalah orang yang menganut paham Neoliberalisme. Lembaga Utama yang menjalankan Neoliberalisme adalah IMF, World Bank, dan WTO. Di bawahnya ada lembaga lain seperti ADB. Dengan belenggu hutang (misalnya hutang Indonesia yang meningkat dari Rp 1.200 trilyun 20 tahun 2004 dan bengkak jadi Rp 1.600 trilyun di 2009) lembaga tersebut memaksakan program neoliberalisme ke seluruh dunia. Pemerintah AS (USAID) bertindak sebagai Project Manager yang kerap campur tangan terhadap pembuatan UU di berbagai negara untuk memungkinkan neoliberalisme berjalan (misalnya di negeri kita UU Migas). Mari kita bahas satu per satu agenda utama Neoliberalisme.

Privatisasi/Penjualan BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
Neoliberalis menghendaki negara tidak berbisnis meski bisnis tersebut menyangkut kekayaan alam negara dan juga menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Oleh karena itu semua BUMN harus dijual atau diprivatisasi ke pihak swasta. Karena swasta Nasional keuangannya terbatas, umumnya yang membelinya adalah pihak asing seperti Indosat dan Telkom yang dijual ke perusahaan asing seperti STT dan Singtel yang ternyata anak perusahaan dari Temasek (BUMN Singapura).
PAM (Perusahaan Air Minum) yang dibeli pihak asing sehingga jadi Palyja (Lyonnaise, Perancis) dan TPJ (Thames PAM Jaya yang kemudian dibeli oleh AETRA). Privatisasi ini akhirnya menyebabkan tarif PAM naik berkali-kali hingga sekarang 1 m3 jadi sekitar Rp 7.000.
Yang berbahaya adalah ketika perusahaan swasta/asing itu bergerak di bidang pertambangan seperti minyak, gas, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, sehingga kekayaan alam Indonesia bukannya dinikmati oleh rakyat Indonesia justru masuk ke kantong asing. Inilah yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Menurut PENA, Rp 2.000 trilyun setiap tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia masuk ke tangan asing. Padahal APBN kita saat itu hanya sekitar Rp 1.000 trilyun sementara hutang luar negeri Rp 1.600 trilyun.
Jika privatisasi khususnya yang menyangkut kekayaan alam bisa dihentikan, maka hutang luar negeri bisa dilunasi dalam waktu kurang dari setahun. Para pejabat dan pegawai negeri bisa hidup senang dengan anggaran Rp 1.000 trilyun/tahun dan rakyat bisa makmur dengan Rp 2.000 trilyun/tahun yang kini justru dinikmati asing.
Prinsip Neoliberalisme di atas jelas bertentangan dengan UUD 45 (yang saat ini diamandemen) dan juga ajaran Islam. Meski Pancasila dan Islam tidak menganut paham komunisme di mana semua diatur negara, tapi untuk hal-hal yang penting dan menguasai kebutuhan orang banyak serta kekayaan alam itu adalah milik bersama, bukan segelintir pemilik perusahaan/asing.
Kaum muslimin berserikat (memiliki bersama) dalam tiga hal, yaitu air, rerumputan (di padang rumput yang tidak bertuan), dan api (migas/energi). (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (UUD 45 Pasal 33 ayat 3).

Pencabutan Subsidi Barang
Menurut kaum Neoliberalis, subsidi barang adalah penyakit. Maka subsidi BBM, angkutan umum, air, dll dihapuskan. Harga barang mengikuti harga pasar dunia sehingga harga barang terus meroket melebihi kenaikan penghasilan rakyat.
Sebagai kompensasi atas berbagai kenaikan harga barang, kaum Neoliberalis memberikan bantuan langsung kepada rakyat (BLT) sebesar Rp 100 ribu/bulan. Namun sayang, tidak semua rakyat kebagian. Banyak buruh/pekerja yang upahnya di bawah UMR tidak menerima BLT. Garis Kemiskinan yang begitu rendah jauh di bawah standar Bank Dunia, US$ 2/orang/hari (Rp 660 ribu/bulan) mengakibatkan banyak orang miskin tidak dapat BLT. Penerima BLT kurang dari 40 juta orang. Padahal orang miskin di Indonesia dengan standar Bank dunia diperkirakan sekitar 120 juta jiwa. Ada 80 juta rakyat miskin yang tak menerima BLT sehingga kerap ada orang yang menurut garis kemiskinan BPS “kaya” berebut BLT karena sebetulnya menurut garis kemiskinan Bank Dunia masih miskin.
Ajaran Neoliberalisme yang membisniskan semua barang termasuk air bertentangan dengan ajaran Islam. Jika anda tak punya uang, anda kesulitan menikmati air bersih. Pernah di zaman Nabi ada orang Yahudi yang memiliki sumur air dan menjualnya kepada masyarakat. Nabi Muhammad meminta sahabat untuk membeli sumur tersebut dan memberikannya gratis kepada seluruh rakyat.
Itulah ajaran Islam di mana air yang merupakan kebutuhan pokok semua makhluk hidup harusnya bisa didapatkan oleh semua makhluk hidup. Bukan hanya oleh orang yang bisa membeli saja.

Penghapusan Layanan Publik
Pelayanan Publik oleh negara seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dihapuskan. Diserahkan ke pihak swasta atau harganya meningkat sesuai harga “Pasar”. Meski pendidikan dasar SD-SMP gratis (mungkin agar rakyat Indonesia bisa lulus SMP sehingga kalau jadi office boy atau kuli tidak bodoh-bodoh amat), namun untuk SMA dan Perguruan Tinggi Negeri biayanya sangat mahal. Uang masuk SMA Negeri sekitar Rp 4 - 7 juta sementara SPP berkisar Rp 175 ribu - 400 ribu/bulan. Melebihi biaya di perguruan tinggi swasta seperti BSI yang kurang dari Rp 200 ribu/bulan. Untuk masuk PTN apalagi Fakultas Kedokteran bisa mencapai Rp 75 -200 juta.
Kesehatan juga begitu. Banyak Rumah Sakit Pemerintah yang diprivatisasi. Operasi sederhana seperti operasi usus buntu mencapai Rp 10 juta lebih. Padahal teman saya yang operasi gajinya tak jauh dari UMR. Layanan Kesehatan gratis baru didapat jika memenuhi kriteria miskin dan punya kartu Keluarga Miskin (GAKIN).
Pembangunan Bertumpu dengan Investor Asing dan Hutang Luar Negeri
Menurut kaum Neoliberalis, tidak mungkin pembangunan dilakukan tanpa hutang. Padahal Arab Saudi yang menasionalisasi perusahaan minyak ARAMCO pada tahun 1974 berhasil meningkatkan pendapatan secara signifikan dan memakmurkan rakyatnya tanpa perlu berhutang. Hutang dari Lembaga Neoliberalisme seperti IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya justru jadi belenggu yang memaksa Indonesia menjual BUMN dan kekayaan alamnya.
Saat ini Rp 2.000 trilyun/tahun hasil kekayaan alam Indonesia tidak dapat dinikmati rakyat sehingga mayoritas rakyat Indonesia hidup melarat. Tapi justru oleh perusahaan asing yang merupakan kroni dari IMF dan World Bank. Jika Indonesia mandiri, maka hutang luar negeri yang cuma Rp 1.600 trilyun itu bisa lunas dalam waktu kurang dari setahun. Jika Rp 2.000 trilyun/tahun hasil kekayaan alam Indonesia bisa dipakai untuk pembangunan, maka kita tidak perlu lagi berhutang.
Kaum Neoliberalis itu seperti makelar hutang yang mendapat komisi dan berbagai keuntungan lainnya dari hasil hutang berupa bunga dan juga penjualan BUMN dan kekayaan alam Indonesia.

Spekulasi Pasar Uang, Pasar Modal, dan Pasar Komoditas
Dari Rp 1.982 trilyun perdagangan saham di BEI, hanya Rp 44,37 trilyun masuk ke Sektor Riel (2,24%). Sementara 97% lebih tersedot untuk Spekulasi Saham. Perdagangan valuta asing (valas) di Indonesia sekitar Rp 7.000 trilyun/tahun dan terus meningkat. Uang jadi lebih sebagai alat spekulasi ketimbang sebagai alat tukar. Inilah contoh keserakahan Kartel dan spekulan Pasar Minyak yang mempermainkan harga di Pasar Komoditas dan tak terkontrol. Harga minyak dari US$ 20/brl (2002) menjadi US$ 144/brl (2008). Naik 7x lipat dalam 6 tahun!
Menurut ensiklopedi MS Encarta, dari tahun 1950-2001 volume ekspor dunia meningkat 20 kali lipat. Sementara perdagangan uang dari tahun 1970-2001 naik 150 x lipat dari US$ 10-20 milyar per hari jadi US$ 1,5 trilyun/hari (Rp 16.500 trilyun/hari)! Spekulasi uang asing seperti Rupiah-Dollar-Yen-Euro, dsb lebih besar ketimbang sebagai alat tukar untuk pembelian barang. Itulah sistem Neoliberalisme yang lebih mementingkan uang tersedot ke Spekulasi uang, saham, dan komoditas (meski barang, tapi dipermainkan hingga jatuh tempo selama 6 tahun) di Pasar Uang, Pasar Saham, dan Pasar Komoditas.

Penjajahan “Kompeni” Gaya Baru
Dulu yang menjajah kita adalah Kompeni Belanda. Artinya Perusahaan (VOC-Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda, bukan Pemerintah Belanda. VOC ini mendirikan berbagai perkebunan terutama rempah-rempah dan memonopolinya untuk dijual ke Eropa. Karena jumlahnya sedikit (total penduduk Belanda waktu itu hanya 7 juta dan tentara Belanda di Indonesia kurang dari 10.000), maka Kompeni Belanda tetap bekerjasama dengan Raja-raja dan Bupati-bupati lokal. Raja-raja yang tidak mau bekerjasama diperangi bersama sekutunya. Bangsa Indonesia bekerja sebagai kuli kontrak.
Nah saat ini yang menguasai kekayaan alam kita adalah Kompeni gaya baru, yaitu Multi National Company (MNC) yang didukung oleh pemerintah AS dan sekutunya. Sejarah kembali berulang. Raja-raja dan Bupati-bupati baru tetap orang Indonesia, demikian pula Kuli Kontraknya. Bahkan para pengkhianat/komprador yang bekerjasama dengan para penjajah pun tetap ada.
Bahkan jika dulu Kompeni Belanda umumnya masih mengutamakan Perkebunan yang masih ramah lingkungan, Kompeni baru sekarang menguras hasil tambang Indonesia seperti minyak, gas, emas, perak, batubara, tembaga, dan sebagainya. Gunung-gunung di Papua menjadi rata dan tercemar zat kimia, begitu pula di daerah-daerah pertambangan lainnya. Sungai-sungai dan danau juga tercemar sehingga rakyat setempat tidak bisa lagi mendapat makanan berupa ikan dari situ.
Jadi situasi penjajahan Kompeni gaya baru ini justru lebih buruk dan ironisnya tidak disadari oleh mayoritas rakyat Indonesia! Ini karena penjajah gaya baru ini membina begitu banyak kaki tangan mulai dari LSM-LSM, Kampus-kampus, hingga media massa yang mereka biayai (Contohnya TV Pemerintah AS VOA muncul di satu TV Swasta di Indonesia sementara TVRI tidak bisa muncul).
Itulah sekilas dari Sistem Neoliberalisme. Krisis Global yang terjadi saat ini tak lepas dari ulah kaum Neoliberalis. Kenapa Indonesia terkena Krisis Global? Itu karena ekonom yang diberi tanggung-jawab mengurusi ekonomi Indonesia secara sadar/tidak sadar menganut sistem ekonomi Neoliberalisme. Tahun 1998 Indonesia kena krisis moneter. Tahun 2008 hingga sekarang kembali kena krisis ekonomi sehingga PHK dan pengangguran meraja lela.

Pro dan Kontra Apakah Boediono Neoliberalis atau Tidak
Ekonom UI, Faisal Basri, Chatib Basri (Pendukung Iklan Kenaikan Harga BBM), dan Anas Urbaningrum menolak tuduhan Boediono adalah Neoliberalis. Menurut Faisal H Basri bahkan Boediono adalah Antitesa Neoliberal. Di antara argumentasi Faisal Basri adalah: “Falsafah Bappenas itu bukan neoliberal,” ujar Faisal. Peran Bappenas, menurut dia, sangat besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. “Seandainya Boediono neoliberal, maka dia tidak akan mau bergabung dengan Bappenas”. Chatib Basri mengatakan bahwa Boediono yang telah berperan di bidang Ekonomi dari Zaman Megawati hingga SBY bukan sosok Neoliberalis.
Sementara ekonom UGM, Revrisond Baswir, justru menuding Boediono sebagai Neoliberalis. Begitu pula beberapa aktivis LSM seperti KAMMI dan juga politisi PAN. Jelas satu hal menggembirakan jika di negeri ini orang sudah malu mengaku jadi Neoliberalis karena paham tersebut sudah membangkrutkan AS.
Tapi untuk mengetahui apakah seseorang itu Neoliberalis atau tidak mungkin kita bisa pelajari Neoliberalisme/Globalisasi dari Ensiklopedia MS Encarta dan Wikipedia. Dari situ kita ketahui bahwa lembaga penyebar paham Neoliberalisme adalah IMF, Bank Dunia (World Bank), dan WTO. Dengan belenggu hutang (hutang LN Indonesia saat ini sekitar Rp 1.600 trilyun), IMF dan Bank Dunia memaksa negara-negara di dunia untuk melaksanakan agendanya. Sehingga sering mengakibatkan kerusuhan IMF (IMF riots) seperti terjadi di Indonesia tahun 1998.
Nah menurut beberapa pendukung Boediono seperti Faisal Basri dan Chatib Basri yang menyatakan bahwa Boediono sudah menangani ekonomi Indonesia dari akhir masa pemerintahan Soeharto, Megawati, dan juga SBY, apakah sistem ekonomi di Indonesia menganut Neoliberalisme atau tidak?
1.Apakah BUMN-BUMN Indonesia seperti Indosat, Telkom, BNI, dsb diprivatisasi?
2.Apakah subsidi BBM dicabut sehingga harga BBM di Indonesia mengikuti harga minyak dunia/pasar?
3.Apakah layanan publik seperti air diserahkan kepada swasta?
4.Apakah pendidikan seperti Pendidikan Tinggi Negeri diswastanisasi dan jadi lebih mahal dari universitas swasta?
5.Apakah ada arah agar kekayaan alam kita yang sekarang 90% dikuasai asing tidak akan dinasionalisasi sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi di tahun 1974 sehingga jadi makmur dan sekarang diikuti oleh Venezuela?
Jika jawabannya ”YA”, maka jelas orang itu adalah Neoliberalis. Jika jawabannya ”TIDAK”, maka jelas orang itu adalah Bukan Neoliberalis.
”Argumen” Faisal Basri yang menyatakan bahwa Boediono bukan Neoliberalis hanya karena sederhana dan santun juga bukan argumen yang tepat. Sebagai contoh, Soeharto yang disebut penulis buku asing sebagai ”The Smiling General” adalah pribadi yang santun dan murah senyum. Toh sebagian orang menuduhnya melanggar HAM yang mengakibatkan tewasnya ratusan ribu orang pada peristiwa G30 S PKI, Pembantaian Tanjung Priok, Lampung, Aceh, dan sebagainya.
Apalagi dengan kekayaan Rp 18 milyar lebih dan merupakan pejabat yang kekayaannya meningkat paling signifikan (Tempo Interaktif), atribut ”Sederhana” patut dipertanyakan. Apakah Boediono yang menangani Indonesia dari Zaman Megawati hingga SBY merelakan Rp 2000 trilyun/tahun dari kekayaan alam Indonesia masuk ke kantong perusahaan asing? Apakah Boediono tidak akan membentuk BUMN yang mengelola kekayaan alam tersebut sebagaimana amanat UUD 45 pasal 33 sehingga Rp 2.000 trilyun/tahun bisa dinikmati rakyat Indonesia?
Jika jawabannya ”YA”, maka dia adalah Neoliberalis. Jika “TIDAK”, maka bukan neoliberalis. Itulah Kriteria yang tepat untuk mengidentifikasi apakah seseorang itu Neoliberalis atau tidak. Dari Sistem Ekonomi yang dianut dan diamalkannya. Bukan dari hal-hal yang tidak relevan.
Disisi lain, saya agak merasa aneh pernyataan Pak FHB beberapa waktu dulu ketika beliau berada di Padang-Sumatera Barat dan ditanya oleh Padang Today, bagaimana pandangan FHB jika Boediono dipilih sebagai cawapres.
“Saya menilai sayang jika Prof. Boediono ditempatkan sebagai Wapres, dia itu teknokrat, lebih tepat jika dia mengurus persoalan ekonomi dan moneter di level menteri, akan lebih optimal”. Ditambahkan Faisal, kemampuan Boediono justru akan terhambat jika dia diposisikan sebagai Wapres”. Pak Boediono diakui dunia sebagai pakar ekonomi moneter, kemampuannya justru dibutuhkan untuk mengelola ekonomi dan moneter kita, yang menjadi domain kerja Menko Ekonomi serta Gubernur BI, jadi kalau dia ditempatkan di Wapres justru kontraproduktif,” ungkap FHB.
Pak FHB saat ini tampak sekali mendukung SBY-Boediono, padahal pada 20 Desember Faisal Basri mengemukan kegagalan ekonomi SBY yang selama ini dimotori Boediono sebagai Menko Perekomian dan Menkeu Sri Mulyani. FHB mengingatkan kepada masyarakat agar tidak terjebak dengan janji-janji SBY saat melakukan kampanye. Ia mengatakan tersebut di Hotel Aston Atrium Jakarta – Rakyat Merdeka.
“Hati-hati saat kampanye bila SBY bicara tentang angka pengangguran dan kemiskinan menurun, Presiden yang dipilih berhasil alakadarnya, tidak ada perbaikan secara signifikan, apa gunanya dipilih lagi. Buat apa kita pilih yang katanya doktor, bintang empat (jenderal), ahli pertanian”. Pengangguran misalnya, terjadi pengurangan atau penurunan angka pengangguran dari 9,1 persen tahun 2007 menjadi 8,1 persen tahun 2008“. Tapi itu di sektor informal, pedagang kaki lima yang tidak ada pensiun, tidak ada tunjangan kerja. Beginilah kalau presidennya jaim (jaga image), berbedak terus, berkosmetik terus”. Faisal menambahkan, selama kepemimpinan SBY, telah tercipta jurang yang cukup dalam antara si kaya dan si miskin. Subsidi yang diberikan tidak tepat sasaran dan lebih banyak dinikmati oleh orang kaya.
Selama tahun 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan naik hampir empat kali lipat, tetapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen saja. Bukti tumpulnya kebijakan ekonomi untuk memberantas kemiskinan terlihat pula dari perbandingan dengan negara-negara tetangga.
Pemerintahan SBY-JK juga bisa dipandang terseok-seok dalam memerangi pengangguran dan meningkatkan kualitas pekerja. Angka pengangguran terbuka memang turun sedikit dari 9,9 persen pada tahun 2004 menjadi 8,4 persen pada tahun 2008. Namun, pada periode yang sama terjadi peningkatan underemployment (separuh menganggur) dari 29,8 persen menjadi 30,3 persen.
Pemerintahan SBY-JK gagal untuk menghasilkan pola pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mengutamakan penguatan sektor produksi barang. Yang paling mencolok adalah kinerja industri manufaktur.
Dari analisis tajam seorang FHB 1 bulan yang lalu atas kinerja ekonomi pemerintah SBY-JK selama 2004-2008 yang hampir 3 tahun dipimpin oleh tim ekonomi Boediono sudah gagal. Analisis yang tajam dari FHB pada tanggal 27 April 2009 tidak jauh berbeda dengan analisis 5 bulan lalu pada 29 Desember 2008 dan juga sebelum-belumnya. Namun, pasca Boediono dipinang SBY, pola analisis FHB berubah dan bisa dikatakan lebih dari 100 derajat. Apakah analisis tajam FHB sudah terbeli oleh politik? Apakah FHB akan kembali masuk ke politik seperti pada tahun 1998 silam?
Pemaparan Pak FHB mengenai Boediono merupakan salah satu tulisan terpercaya, dan patut diberi apresiasi yang selayaknya karena berdasarkan realitas kedekatan dan analisisnya. Secara garis besar, FHB menggambarkan sosok kepribadian yang unggul dalam diri Boediono. Kepribadian yang unggul inilah yang membawa dirinya menduduki posisi yang strategis di negeri ini. Namun, kita harus juga menelusuri sisi lain, hal yang tidak bisa kita lupakan dalam perjalanan bangsa ini yakni BLBI dan Agenda Penjualan BUMN Strategis serta Perbankan BPPN yang mana total kerugian negara akibat aksi ini mencapai ribuan triliun. Kita perlu tahu bahwasanya agenda-agenda tersebut merupakan buah dikte dari IMF pada saat itu (2002). Dan kita pun sudah melihat adanya ketimbangan tulisan pak FHB pada 14 Mei dengan 27 April.
Dalam kesempatan ini, saya akan mengutip langsung pernyataan Pak Boediono atas Agenda IMF tersebut dengan tulisan pink (versi Inggris) di Jakartapost (27 Februari 2002): Menteri Keuangan Boediono menyatakan optimismenya pada hari Selasa bahwa pemerintah sanggup memenuhi “Agenda Utama” yang dikeluarkan IMF sebagai syarat bantuan pendanaan [catatan: utang masih dikatakan sebagai dana bantuan].
Agenda-agenda IMF diantaranya adalah:
1.Negara harus menjual BUMN-BUMN strategis kepada pemilik modal dengan harga yang diintervensi oleh IMF. Indosat, Telkom adalah salah satu buah produk IMF pada saat itu.
2.Negara harus menjual bank-bank BPPN seperti BCA, Danamon, BII, dengan harga jauh dibawah kewajaran yang akan membebani anggaran (BLBI) hingga ratusan triliun. Salah satu contohnya adalah menjual BCA seharga 10 Triliun padahal harga obligasi rekap yang melekat pada BCA 58 triliun + aset-aset tetap. Negara dirugikan lebih dari 50 triliun + bunga berjalan yang jika ditotalin hampir 100 triliun. Inilah kasus BLBI yang hingga saat ini masih meninggalkan ketidakadilan bagi rakyat yang tidak tahu menahu.
3.Negara harus mengurangi dan pada akhirnya harus menghapus subsidi minyak, air, listrik dan pendidikan. Kebijakan ini terus dilakukan dan pada Desember 2008, secara resmi pemerintah SBY-JK mengatakan “Tidak ada lagi subsidi minyak, kita kembali ke harga pasar“. Untuk pendidikan, diterbitnyalah UU BHP. Dengan adanya penghapusan subsidi, maka perusahaan asing baik disektor BBM maupun pendidikan akan menjadi tuan di tanah kita.
4.Negara secara tidak langsung dipaksa untuk mengekspor barang-barang mentah ke luar negeri lalu diimpor dalam bentuk barang jadi.
5.Negara harus tetap mengutamakan memberi bantuan yang besar kepada lembaga/perusahaan besar. Ini disebut juga sebagai paham trickle down effect.
Pihak IMF diperkirakan tiba bulan depan di Jakarta untuk mereview program reformasi ekonomi negara ala IMF. Bantuan IMF sangatlah penting dan mendesak (krusial) bagi pemerintah untuk penjadwalan kembali skema pembayaran utang dengan [rentenir] Paris Club pada April 2002 mendatang.
Boediono sangat meyakini konsep reformasi ekonomi yang didikte oleh IMF. Tujuan IMF, Paris Club, WB dan begitu juga agen EHM seperti John Perkins akui adalah membuat kesepakatan untuk memberi pinjaman ke negara lain, jauh lebih besar dari yang negara itu sanggup bayar. Dalam kesepakatan antarnegara itu, IMF, EHM CS berusaha menekan negara-negara lain agar memberikan 90 persen dari pinjamannya kepada perusahaan-perusahaan AS, seperti Halliburton atau Bechtel. Kemudian perusahaan-perusahaan AS tersebut akan masuk membangun sistem listrik, pelabuhan, jalan tol dan lainnya di negara-negara berkembang.
Setelah mendapatkan utang, AS akan memeras negara tersebut sampai tak bisa membayarnya. Dengan alasan itu, barulah AS akan mendesak negara-negara lain untuk menyerahkan sumber kekayaan alamnya, seperti minyak, gas, kayu, tembaga dan lainnya ke AS. Bagaimana jika negara-negara itu menolak? John Perkins menyatakan, mereka bisa saja dibunuh. Ini bukan isapan jempol. Dua tokoh dunia, yakni Presiden Panama Omar Torijos dan Presiden Ekuador Jaime Rojos dibantai karena menolak kerja sama dengan AS.
“Agenda Utama adalah persyaratan dan perihal yang harus pemerintah laksanakan. Tapi, saya yakin bahwa kita mampu memenuhi semua persyaratan tersebut tepat waktu.”, ungkap Boediono kepada Wartawan setelah sesi dengar pendapat di Komisi IX DPR. Dari jumpa pers tersebut, sangatlah jelas bahwa Boediono sebagai Menkeu di era Gotong Royong sangat patuh pada IMF dengan agenda menjual Indonesia ke tangan swasta dan asing.
Ia [Boediono] tidak menjabarkan secara jelas apa saja “Agenda Utama” IMF tersebut. Namun, Boediono memastikan bahwa penjualan 51% saham BCA [berada dibawah naungan BPPN] dengan proses yang kredibel, dan strategi yang jelas untuk mengatasi utang yang membengkak dari Bank-Bank BPPN (yang mendapat likuiditas BLBI) hasil utang para pemilik bank tersebut, termasuk dalam daftar “Agenda Utama IMF mendesak Indonesia”.
Sejarah gamblang Boediono (Menkeu) bersama Menko Dorodjatun dan Meneg BUMN Laksamana Sukardi secara tidak langsung mengubah utang para bankir menjadi utang rakyat. Menjual BUMN kepada Temasek sehingga satelit strategis untuk keamanan dan kedaulatan negara kita dikuasai Singapura. Hal senada disampaikan Prof. Mubiyarto, bahwa sejak private debt [utang para bankir/swasta] dijadikan public debt [utang rakyat], sejak utang para konglomerat ”ditalangi” pemerintah, perbankan selalu mendapat subsidi, industri perbankan yang seharusnya menghasilkan pendapatan (revenue) ternyata menjadi beban (expenditure) negara/rakyat yang dibayar terus oleh pemerintah hingga saat ini. Pada tahun 1998, ”bunga utang” para konglomerat yang dibebankan kepada APBN besarnya Rp 60 trilliun, empat kali lipat dari anggaran untuk pendidikan yang hanya sekitar Rp 15 trilliun. Inilah salah satu kebijakan yang mungkin Pak Faisal Basri harus juga uraikan secara mendetil dalam tulisan beliau.

IV. PENUTUP (KESIMPULAN)
Neoliberalisme adalah paham Ekonomi yang mengutamakan sistem Kapitalis Perdagangan Bebas, Ekspansi Pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN, Deregulasi/ Penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS (Washington Consensus). Bertujuan untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan sekutunya/MNC.
Sesuai dengan namannya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.
Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menjelaskan lima kerangka utama neoliberalisme adalah Free market, pembatasan anggaran belanja publik, deregulasi, privatisasi, dan menghilangkan konsep barang publik.
Ekonom UI, Faisal Basri, Chatib Basri, dan Anas Urbaningrum menolak tuduhan Boediono adalah Neoliberalis. Menurut Faisal H Basri bahkan Boediono adalah Antitesa Neoliberal. Di antara argumentasi Faisal Basri adalah: “Falsafah Bappenas itu bukan neoliberal,” ujar Faisal. Peran Bappenas, menurut dia, sangat besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. “Seandainya Boediono neoliberal, maka dia tidak akan mau bergabung dengan Bappenas.” Chatib Basri mengatakan bahwa Boediono yang telah berperan di bidang Ekonomi dari Zaman Megawati hingga SBY bukan sosok Neoliberalis.
Sementara ekonom UGM, Revrisond Baswir, justru menuding Boediono sebagai Neoliberalis. Begitu pula beberapa aktivis LSM seperti KAMMI dan juga politisi PAN. Jelas satu hal menggembirakan jika di negeri ini orang sudah malu mengaku jadi Neoliberalis karena paham tersebut sudah membangkrutkan AS.
Tapi untuk mengetahui apakah seseorang itu Neoliberalis atau tidak mungkin kita bisa pelajari Neoliberalisme/Globalisasi dari Ensiklopedia MS Encarta dan Wikipedia. Dari situ kita ketahui bahwa lembaga penyebar paham Neoliberalisme adalah IMF, Bank Dunia (World Bank), dan juga WTO.

V. DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme
http://capresindonesia.wordpress.com
http://faisalbasri.kompasiana.com/2009/05/14/pak-boed-yang-saya-kenal
http://www.detikfinance.com/read/2009/05/15/111207/1131896/4/boediono-bukan-penganut-neoliberalisme
http://www.Artikel/Neoliberalisme dan Kebangkrutan Ideologi Kapitalisme
M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi ”Ekonomi Islam Vs Ekonomi Neo-Liberal”,
Norena Heertz, Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang Neoliberalisme, dalamNeoliberalisme, editor I. Wibowo dan Francis Wahono, cet. i, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 19.
I. Wibowo dalam Neoliberalisme, hal. 3-5.

Baca selengkapnya......